SHORT MESSAGE SERVICE
by : eNOEeReM ‘11
I can see you, if you were not with me
I can say to my self, if you’re okay
I can feel you, if you were not with me
I can reach you my self, you...
Belum selesai suara lirih seorang Titz melantunkan lagu Not with Me, jari-jari kurus itu langsung mendaratkan diri di atas keypad sebuah telepon genggam yang medengungkan lagu tadi. Walhasil, lagu yang seharusnya berdurasi 3 menit 56 detik itu berakhir sebelum waktunya, dan Titz belum sempat mengeluarkan desah nafas Rapper-mellownya di penghujung lagu ini.
Nanda Mahayana, begitu orangtuanya menganugerahkan nama keagungan padanya tidak lekas terbangun meski alarm yang ia set semalam di handphone-nya itu sudah berhenti berdering sejak 7 menit yang lalu. Kedua kelopak matanya yang masih lengket satu sama lain karena perekat alami, ditambah udara dingin pagi hari yang membuat dua rahangnya berderak tidak beraturan, semakin memanjakan remaja jangkung itu di atas Spring Bed empuk bersprei coklat mudanya. Mungkin mimpinya malam ini terlalu sayang jika harus cepat-cepat ia akhiri, sehingga Nanda betah berjam-jam tanpa sedikitpun ingin kehilangan sepersekian detik momen-momen di mimpinya.
“Nanda! Bangun, Nak! Sudah shubuh.” sebuah suara lembut penuh kasih sayang memanggil.
Tidak ada jawaban.
“Nanda! Shubuh! Bangun!” si empunya suara meninggikan frekuensi kata-katanya.
Masih belum ada jawaban.
“Mahayana! Bangun!”
Kali ini, tidak ada nada-nada kasih sayang seperti pada panggilan pertama tadi. Pintu kamar Nanda yang tidak terkunci pun menjadi sasaran amuk seorang ibu paruh baya berdaster bunga-bunga itu. Dibanting sekeras-kerasnya, selayaknya The Rock melemparkan Stone Cold ke lantai ring dalam arena Smack Down.
Sontak, Nanda yang tengah dimanjakan oleh mimpinya terperanjat. Handphone yang terus ia genggam semalaman pun terpental beberapa centimeter dari tangannya. Satu panggilan nama belakang sudah sangat dimengerti olehnya. Itu berarti, ibunya itu tengah muntab. Tanpa dikomando, mahasiswa tingkat I Matematika FMIPA Institut Teknologi Bandung itu bergegas membenamkan kepalanya pada puluhan gallon air dalam bak mandi satu-satunya di rumah mungil keluarganya itu. Tanpa sikat gigi, tanpa sabun, ia akhiri acara mandi singkat satu menitnya itu. Kalau tidak diingatkan oleh adik perempuan kecilnya, Fahira, Nanda pasti sudah melupakan ritual shalat shubuh yang menjadi kewajibannya.
“Sudah jam 5, ka! Shalat dulu!” suara kecil si bungsu mengingatkan kakak keduanya itu.
“Apa?! Jam 5 ?!” kata Nanda setengah kaget.
Tanpa mengiyakan apa yang Fahira katakan, Nanda langsung bergegas memburu handphone yang ia tinggalkan di kamarnya.
“Dapat!”
Dicarinya nama Almaya Ariani di deretan kontak handphone Nokia-nya. Sepersekian detik setelah itu, bergegas ia tekan tombol panggil di deretan keypad. Kemarin, ia berjanji pada Aya, begitu Nanda memanggil Almaya, untuk membangunkannya tepat jam 4.30. Tapi sekarang sudah terlambat lebih dari 30 menit, dan pasti Aya sudah bangun mendahuluinya. Benar saja. Beberapa menit kemudian, sebuah pesan singkat mampir di inbox-nya, dan tidak usah ditanya lagi itu dari Aya. Ia sangat kesal karena Nanda terlambat membangunkannya. Ingin Nanda menjelaskan yang terjadi sebenarnya, tapi suara berfrekuensi lebih dari 20.000 Heurtz yang keluar dari mulut ibunya mebuat ia melemparkan begitu saja Handphone-nya ke atas tempat tidur. Ia bergidik, dan langsung kembali ke kamar mandi, mengambil air wudhu, dan melaksanakan shalat shubuhnya yang tertunda.
Pagi ini, cuaca Bandung tidak begitu bersahabat. Baru beranjak jam 8 saja, langit sudah ditutupi awan-awan Cumulunimbus yang berarakan membentuk seperti barisan domba di savana hijau Sumbawa. Dengan menggunakan sepeda Down Hill merah yang kerap kali ia pakai menuruni jalan-jalan tanah perkebunan teh di Lembang, Nanda pun menelusuri ramainya Jalan Tamansari, menuju kampus tua tercintanya. Setelah memarkirkan sepedanya di antara deretan sepeda motor mahasiswa lainnya, dan menggembok roda depannya pada sebuah pohon, Nanda pun bergegas menuju kelas. Hari ini, adalah saatnya Kuis untuk mata kuliah Kombinatorika dan ia tidak boleh terlambat sedetik pun. Kalau ia sampai terlambat, bersiap saja untuk mengulang mata kuliah yang sama semester depan, juga dengan dosen yang sama, Bu Novriana yang terkenal killer itu.
Nanda masih beruntung, sesaat sebelum Bu Novri masuk ke kelas, Pa Syafrizal, dosen Teori Bilangan mengajaknya mengobrol. Dalam kesempatan yang sempit itu, Nanda berhasil melesat secepat Flash memburu tempat duduknya. Aroma debu kapur putih dan bangku kayu jati tua menandakan ia telah sampai lebih dulu sebelum Bu Novri.
“Terima kasih, Pa Syaf.” katanya dalam hati sambil menghela nafas beberapa kali karena telah berjuang keras mati-matian menuju kelas, melebihi perjuangan Saiya mengalahkan 12 Gold Saint dan menyelamatkan Putri Sauori, Athena.
“Hei, bodoh! Kenapa kau lari-lari segala?” suara Harlan mengagetkan Nanda.
“Ka Harlan! Aku berhasil, Ka. Aku berhasil masuk kelas tepat waktu sebelum Bu Novri. Perjuanganku berlarian tadi akhirnya tidak sia-sia. Aku tidak perlu mengulang mata kuliah menyebalkan ini semester depan.” kata Nanda dengan bersemangat.
“Dasar bodoh! Bu Novri sudah masuk kelas sejak 5 menit lalu. Kau ini kemana aja sih?” jelas Harlan.
“Apa?!” tanya Nanda dengan nada kaget.
“Tenang. Kuis hari ini tidak jadi. Bu Novri ke kelas hanya untuk memberi tahu itu.” Harlan tersenyum licik sambil menjitak kepala Nanda.
Tanpa diperintah, Nanda yang sudah terlihat lemas karena kehilangan semua tenaga terakhirnya langsung memasang wajah cemberut. Harlan hanya tertawa-tawa sendirian melihat kelakuan Nanda yang belakangan dianggapnya sebagai adik ini. Nanda dan Harlan baru bertemu pada saat pembagian kelas pertama kali, setelah OSPEK. Dua orang ini berasal dari daerah yang berbeda. Nanda yang asli orang Bandung, dan Harlan yang merupakan mahasiswa perantauan dari Bakauheni, Lampung. Keduanya memang terlihat begitu akrab, walaupun baru beberapa bulan saja mereka bersama.
“Oh iya, Ka.” Kata Nanda mengawali pembicaraan.
“Tiga hari yang lalu, aku dapat kenalan baru lewat SMS. Perempuan, Ka. Namanya Almaya, anak SMA 5.” kata Nanda sembari menyodorkan handphone-nya dan memperlihatkan pesan-pesan dari Aya.
“Emh, gatau juga ya. Kakak tidak kenal nomor itu. Mungkin cuma orang iseng.” Jawab Harlan singkat.
“Yang jadi masalah, anak itu tahu betul soalku, Ka. Ciri-ciri, sekolahku waktu SMA, sampai kebiasaan-kebiasaanku. Seolah-olah, dia itu cenayang Ki Joko Bodo yang tahu segalanya.” Nanda menjelaskan dengan menggebu-gebu.
“Tapi, ada satu hal yang aku heran.” Nanda terdiam sejenak.
“Apa?” tanya Harlan.
“Gaya SMS-nya itu mirip sekali denganmu, Ka. Tadinya aku fikir dia itu kakak yang berpura-pura menjadi perempuan untuk mengerjaiku karena aku masih jomblo. Tapi, aku rasa bukan. Entah kenapa, walaupun belum melihat seperti apa orangnya, aku sudah mulai tertarik padanya, Ka.”
Harlan bergeming, dan kemudian meninggalkan Nanda yang sepertinya asyik membayangkan sesuatu.
“Woi! Mau ikut ke kantin ga?!” ajak Harlan pada Nanda.
Nanda tersadar dan langsung berlari mengejar Harlan.
“Oh iya. Ada lagi, Ka. Katanya, Aya minta nomor HP Kakak. Secara tidak sengaja, aku menceritakan soal kakak padanya dan ia sepertinya tertarik sama kakak.” Kata Nanda.
“Kasih, dah.” Jawab Harlan dengan sedikit bercanda, menirukan gaya jargon sebuah kartu seluler ternama.
Dan mereka pun terlarut dalam obrolan-obrolan ringan di sepanjang jalan menuju kantin.
Sore menjelang. Nanda masih sibuk termenung di tangga kecil menuju Lantai DNA, sebuah tempat lapang berlantai yang polanya mirip rantai protein penyusun kromosom manusia itu, berbelit-belit. Harlan yang biasa menemaninya sudah pulang sejak jam 3 tadi, sehingga Nanda kini hanya sendirian.
Jam di tangan kiri Nanda menunjukkan tepat pukul 16.06 saat lagu Not with Me kembali teralun dari speaker kecil handphone-nya.
From: Almaya Ariani
Kak Nanda... Kakak sudah pulang?
Wajah Nanda yang semula agak kusam, perlahan-lahan menyemburatkan senyum khasnya. Secepat kilat ia membalas pesan itu. Dan beberapa menit berlalu, ia sudah dimanjakan dengan canda-canda ringan bersama teman imaginer barunya itu.
Lepas maghrib, Nanda baru beranjak dari tempat ia termenung sejak sore tadi. Seorang dosen yang baru selesai memberi kuliah sore menyadarkan bahwa hari mulai beranjak malam. Pak Oki Neswan, dosen Geometri itu memang sudah lama kenal dengan Nanda dan bahkan beliau adalah tetangga yang baik bagi keluarga Nanda. Beliau menawari Nanda yang sedang berjalan menuju tempat parkir untuk pulang bersamanya. Tapi dengan halus Nanda menolak. Nanda pun beranjak pulang dengan menenteng sepedanya menyusuri Jalan Tamansari yang masih tetap ramai meski pekat malam mulai menelan gemerlap mega di ujung barat sana. Perlahan bayangan Nanda mulai menghilang, disembunyikan rindangnya pepohonan besar di sepanjang kiri dan kanan jalan.
Pukul 21.37, Nanda baru saja mengakhiri obrolan pesan singkatnya dengan Aya. Dari semenjak sore tadi, Aya dengan setia menjadi teman sharing seorang Nanda. Kali ini Aya bukan lagi menjadi Ki Joko Bodo, tetapi ia telah menjelma menjadi seorang Mike Rose, peramal cinta. Selama lebih kurang 3 jam itu, Nanda dengan nyaman menceritakan semua hal yang selama ini menjadi rahasia pribadinya. Entah kenapa, ia merasa telah mengenal Aya lama sehingga ia tidak sungkan membeberkan fakta-fakta hitamnya. Sebuah ucapan selamat tidur, menamatkan obrolan seru-sendu mereka malam itu. Dan Nanda kembali termenung sendirian di sudut kamar pink-nya.
Lantunan lagu Not with Me kembali bergaung di seantero kamar berukuran 3 m x 3 m berpintu kayu mahoni bercat kuning itu. Ada pesan masuk di inbox handphone-nya.
From: FMIPA.Harlan
De, tmenin ka2 malem ini ya...
Ka2 gabisa tdur nih... ):
Sebuah balasan diplomatis diberikan Nanda. Nanda mengiyakan ajakan Harlan, dan meyuruh Harlan menentukan topik pembicaraan karena Nanda paling sulit untuk menentukan topik obrolan jika bukan orang lain yang memulai. Tapi kalau sudah mulai membicarakan sesuatu, ia bisa membahasnya sampai tidak kenal waktu. Pernah suatu hari, ia mengobrol lewat pesan singkat dengan seorang teman sekelasnya dari jam 8 pagi sampai jam 12 malam non stop. Entah apa yang mereka bicarakan.
Beberapa menit kemudian, sebaris kalimat “1 Message Recieved” terpampang di layar bening handphone Nanda. Balasan dari Harlan.
From: FMIPA.Harlan
Kmu yg tentuin topiknya...
Ka2 gabisa mikir...
Kulit dahi Nanda mengerut. Bukankah Harlan sudah tahu kalau Nanda tidak suka memulai pembicaraan sebelum ada yang memulainya. Nanda pun mengirimkan balasan dengan nada kesal. Ada sedikit ancaman dalam pesannya itu. Jika tidak ada topik sampai pesan ke-3, Nanda tidak akan melanjutkan obrolannya. Dan sampai pesan yang ke-3, Harlan hanya menjawab “gatau :(“, dan itu membuat Nanda muntab. Ia tidak menghiraukan pesan-pesan yang selanjutnya mampir di inbox, dan bergegas menelungkupkan kepalanya dalam dekapan sebuah bantal kapuk. Suasana malam hari yang sunyi dengan dingin yang menusuk membuatnya langsung terlelap dalam buaian peri mimpi yang kali ini datang lebih awal menghantarkan sukmanya ke negeri khayal.
Beranjak pada sebuah sore yang aneh dibayangi awan mendung langit Bandung yang siap memuntahkan tetesan tentara-tentara surga ke bumi. Dua orang itu kini berdiri berhadapan satu sama lain. Salah seorang dari mereka sejak awal hanya menunduk, tidak kuasa memandang lawan bicaranya yang sedari tadi meracau mengeluarkan semua kekesalan padanya. Ya, Harlan seolah-olah tengah menjadi terdakwa yang menanti vonis majelis hakim di Mahkamah Agung. Dia tak kuasa melakukan banding lagi, karena ini adalah pengadilan terakhirnya. Dan sang hakim, tidak lain adalah teman baik sekaligus seseorang yang belakangan ia panggil adik, Nanda. Wajah ceria yang selama ini Nanda tunjukkan bila ia berhadapan dengan Harlan seolah-olah menguap seiring kekesalannya yang sudah mencapai klimaks. Jaket hitam yang menjadi favorit masih setia bersanding dengan kemeja hitam bergaris putih 1 milimeter, saat langkah gontai Nanda mendekati tubuh tinggi Harlan. Di tempat itu, di lantai DNA keduanya saling beradu pandang. Perasaan dibohongi itu masih membayangi benak Nanda. Seseorang yang selama ini menjadi teman setia, sekaligus kakak baginya telah dengan tega melakukan suatu kebohongan yang teramat pedih. Seakan-akan, Harlan telah menohok Nanda dari belakang saat ia tertidur. Halus, tak terlihat.
Pagi tadi, keduanya bertemu di tempat yang sama seperti saat ini. Nanda yang baru saja tiba, mendapati Harlan tengah duduk terdiam di pojok anak tangga ke-3, sendirian saja. Tempat favorit Nanda itu kini juga menjadi tempat kesukaan Harlan, entah kenapa semenjak 2 hari yang lalu Nanda kerap kali melihat Harlan duduk termenung di situ. Pagi begitu cerah, matahari bersinar di posisi terbaiknya. Tetapi indahnya pagi itu agak sedikit ternodai oleh wajah murung Harlan yang menggoda Nanda untuk menghampirinya. Mereka mengobrol sesaat. Nanda dengan wajah ceria dan senyum khasnya hanya ditanggapi dingin oleh Harlan. Beberapa menit, keadaan hening. Tidak ada seorangpun diantara mereka yang berbicara. Sampai harmoni lagu Not with Me dari Handphone Nanda memecah kesenyapan pagi yang hangat itu.
From: Almaya Ariani
Ka’Nanda... Ka2 lg ngapain?
Wajah Nanda menandakan ada sesuatu yang janggal dari pesan Aya itu. Aya masih bersekolah di SMA kelas 11, dan ini masih jam 8.30 pagi, belum waktunya istirahat. Tidak mungkin ia berani mencuri-curi waktu hanya untuk menanyakan pertanyaan ringan itu pada Nanda. Sebuah pertanyaan dilontarkan Nanda melalui pesan balasannya. “Lg duduk2 aja... Kmu si? Ga sekolah, tah?”
Beberapa detik kemudian sebuah pesan kembali masuk ke inbox handphone Nanda. Jelas itu dari Aya. Ada keragu-raguan dalam hati Nanda untuk membuka pesan itu. Entah kenapa, feeling-nya mengatakan ada sesuatu. Dengan perlahan dan hati-hati, ia baca pesan dari teman imginer-nya itu, selayaknya Beethoven melantunkan Schrezo melalui dentingan tuts-tuts pianonya.
Sejenak ia tersenyum, menundukkan kepala seperti murid SD yang sedang mengheningkan cipta. Tapi, itu bukan senyum cerianya seperti biasa. Sesuatu terjadi.
From: Almaya Ariani
Ga...
Ka, aku ada di arah jam 3...
--V
Itulah sebuah pesan singkat yang mungkin akan menjadi pesan terakhir yang diterima Nanda dari Aya. Karena selang beberapa detik setelah itu, ia merasa menyesal telah membaca pesan tadi. Dengan hati gemetar, ia berusaha memalingkan wajahnya ke arah kanan, arah jam 3 darinya. Ia hanya menghela nafas pajang saat yang ia dapati adalah sesosok makhluk yang oleh orang-orang Amerika Latin sana disebut Andros, laki-laki. Aya, Almaya Ariani teman imaginer-nya, perempuan yang mulai menarik perhatiannya tanpa pernah bertemu, teman curahan hatinya selama satu minggu ini, ternyata Harlan, Miftah Harlan Chaliftullah. Tubuh kurus Nanda membeku mendapati kenyataan pedih itu. Teramat sangat pedih, dan mungkin akan menorehkan luka yang begitu dalam di hati kecilnya. Dan pelakunya tidak lain, Harlan.
Sore ini, semenjak kejadian pagi tadi Nanda yang mulai menampakkan kembali senyumannya mengajak Harlan ke tempat itu lagi, lantai DNA. Nanda mengoceh, Harlan terdiam. Setidaknya, itulah yang terjadi semenjak 15 menit yang lalu.
“Ka, aku minta tolong sebagai adikmu. Tolong jangan lakukan hal yang sama pada orang lain. Cukup aku korban terakhirmu. Seorang lonely yang terlalu berharap lebih.” kata Nanda dengan suara yang mendadak berubah, parau. Harlan tetap terdiam.
“Aku masih punya satu permintaan padamu, Ka. Boleh?” tanya Nanda.
“Apa?” jawab Harlan dengan wajahnya yang masih tertunduk ke lantai keramik berpola berpigmen merah, biru, dan putih itu.
“Sedari tadi, aku ingin sekali melontarkan tinjuku ini ke wajahmu. Boleh kan?” pinta Nanda sembari tersenyum, tetapi dengan sorot mata yang tajam sambil mengepalkan kelima jari tangan kanannya.
“Boleh! Silahkan lakukan yang ingin kamu lakukan! Silahkan! Aku memang bersalah!” tantang Harlan sambil menyodorkan wajahnya ke arah Nanda.
“Boleh, ya.” Nanda mempertegas. Raut wajah cerianya tadi kini berubah menjadi raut wajah dingin seorang algojo yang siap melepaskan tali pengikat kapak pada sebuah Pendulum Machine.
Beberapa sekon berselang, suara desah nafas Harlan tertahan. Matanya yang sedari tadi terpejam perlahan terbuka. Lima belas ruas jari itu mengepal tepat di depan wajah piasnya. Nanda tidak benar-benar memukul wajah Harlan. Dia menghentikan laju kepalan tangan kanannya tepat di sepersekian milimeter di depan wajah Harlan. Perlahan, senyum tersungging di bibir merah-keunguan Nanda. Tangannya yang tadi mengepal, sedikit demi sedikit mulai melunak. Ia tepuk bahu kiri sahabat sekaligus kakaknya itu dengan agak bercanda, dan tetap dengan sedikit tawa riang ciri khas seorang Nanda Mahayana.
“Terima Kasih ya, Kak.” ucap Nanda pada Harlan. “Aku sudah tahu sejak awal kok kalau Aya itu kakak. Jadi, ya tidak apa-apa. Sekali lagi, terima kasih.”
“Ayo kita pulang! Yang tadi lupakan saja, jangan difikirkan. Ok!”
Selendang keemasan lembayung senja di langit Bandung sebelah barat menjadi view yang menghantarkan keduanya saat beranjak pulang. Nanda dan Harlan. Kilau lantai DNA yang menjadi saksi bisu sebuah drama kehidupan kedua individu tadi kini memudar, membiaskan sinar matahari yang perlahan meredup seiring kepak sayap burung-burung gereja yang mulai kembali ke sarangnya. Bergegas terbang, mencoba menutup hari itu untuk menjelang surya indah esok pagi. (NM)